Berawal Dari Wadah Mencari Isi Sampai Akhirnya Isi Menemukan Wadah (tes jawab singkat & refleksi 9)
Refleksi kuliah 9 Filsafat Ilmu
Pendidikan
NURAFNI RETNO KURNIASIH / 15709251007
Selasa, 17 November 2015 ruang 305b
gedung pasca lama.
Prof.Dr.Marsigit, M.A.
Kuliah pada pertemuan kesembilan dengan bapak
Prof.Dr.Marsigit, MA di kelas A Program Pascasarjana UNY jurusan pendidikan
matematika semester 1 angkatan 2015 pada
pukul 11.10 dihadiri oleh mahasiswa kelas A yang berjumlah 20 orang. Diadakanlah
tes jawab singkat lagi yang bertema “Ujian Menembus Ruang dan Waktu”. Adapun
soal dan jawaban tes jawab singkat adalah sebagai berikut:
No
|
Soal
|
Jawab
|
1
|
Spiritual ujian
|
Ujian iman dan taqwa
|
2
|
Ontologi
ujian
|
Wadah
mencari isi
|
3
|
Epistemologi ujian
|
Isi menemukan wadah
|
4
|
Aksiologi
ujian
|
Ujian
dalam ruang dan waktu
|
5
|
Ketetapan ujian
|
Wadah ujian
|
6
|
Ketidak
tetapan ujian
|
Isi ujian
|
7
|
Idealnya ujian
|
Ujian para dewa
|
8
|
Realisme
ujian
|
Ujian dari
luar (ujian nasional)
|
9
|
Analitik ujian
|
Konsistensi ujian
|
10
|
Apriori
ujian
|
Menyiapkan
ujian
|
11
|
Koheren ujian
|
Konsistensi ujian
|
12
|
Transenden
ujian
|
Ujian para
dewa
|
13
|
Skeptisism ujian
|
Rasional ujian
|
14
|
Pondasi
ujian
|
Kesepakatan
ujian
|
15
|
Awal ujian
|
Kesepakatan ujian
|
16
|
Sebab
ujian
|
Fakta
ujian
|
17
|
Identitas ujian
|
Ujian = ujian
|
18
|
Kontradiksi
ujian
|
Ujian ≠
ujian
|
19
|
Formal ujian
|
Wadah ujian
|
20
|
Substansi
ujian
|
Isi ujian
|
21
|
Reduksi ujian
|
Sifat ujian
|
22
|
Sintesis
ujian
|
Ujian baru
|
23
|
Aposteriori ujian
|
Telah ujian
|
24
|
Persepsi
ujian
|
Melihat
ujian
|
25
|
Imajinasi ujian
|
Membayangkan ujian
|
26
|
Kuasa
ujian
|
Subjeknya
ujian
|
27
|
Sifat ujian
|
Predikatnya ujian
|
28
|
Intuisi
ujian
|
Pengalaman
ujian
|
29
|
Mimpi ujian
|
Tidak logis, tidak nyata
|
30
|
Formal
ujian
|
Ujian
resmi
|
31
|
Isi ujian
|
Material ujian
|
32
|
Nihilisme
ujian
|
Tidak ada
ujian
|
33
|
Validisme ujian
|
Ujian tak berupa ujian
|
34
|
Fakta
ujian
|
Konteks ujian
|
35
|
Relatif ujian
|
Isi ujian
|
36
|
Subjek
ujian
|
Penguji
|
37
|
Objek ujian
|
Yang diuji
|
38
|
Saintifik
ujian
|
Mencoba
ujian
|
39
|
Eksistensi ujian
|
Ada ujian
|
40
|
Mengada
ujian
|
Melakukan
ujian
|
41
|
Pengada ujian
|
Hasil ujian
|
42
|
Aprodiktif
ujian
|
Ujian
trigor (konsisten and absolutely true, bisa dibedakan salah dan benar)
|
43
|
Epoche ujian
|
Ujian yang tak perlu
|
44
|
Harmoni
ujian
|
Ujian yang
seimbang
|
45
|
Reguler ujian
|
Ujian teratur
|
46
|
Intensif
ujian
|
Ujian
radik
|
47
|
Ekstensi ujian
|
Ujian komprehensif
|
48
|
Teleologi
ujian
|
Ujian yang
akan datang
|
49
|
Architektonik ujian
|
Konstruksi ujian
|
50
|
Hermeneutika
ujian
|
Interaksi
penguji dengan yang diuji
|
Selanjutnya,
setelah tes jawab singkat di laksanakan, bapak Marsigit membuka sesi pertanyaan
untuk mahasiswa. Pertanyaan pertama adalah dari saya sendiri, Nurafni Retno
Kurniasih. Saya bertanya apakah soal-soal tes jawab singkat yang telah
dilaksanakan merupakan soal open ended? Kalau iya, soal open ended
tersebut merupakan soal dengan jawaban yang banyak, sedangkan dalam filsafat
yang merupakan ilmu pola pikir, menyebabkan jawaban antara orang yang satu
dengan orang lain tidak sama. Kalau begitu, bagaimana satu jawaban yang benar
dari soal open-ended tersebut?
Jawaban
dari Bapak Marsigit adalah, dalam soal-soal tes jawab singkat tadi, lebih
mementingkan kepada usaha untuk “mengadakan dari yang masih menjadi mungkin
ada”. Setidaknya dengan adanya tes jawab singkat kita jadi memikirkan yang
tadinya belum terpikir. Bahwa yang namanya suatu sudut pemikiran tidak
hanya dari satu sudut melainkan multiple. Sebenarnya kita itu multifaced
karena berinteraksi dengan banyak orang. Multifaced yaitu manusia yang bermuka
dan berdimensi tak berhingga. Didalam pewayangan, ada tokoh bernama Dasamuka,
yang hanya memiliki sepuluh wajah. Namun kita sebagai manusia memiliki lebih
dari itu. Sebagai contoh tes jawab singkat tadi, meskipun hanya satu tema namun
memiliki 50 sudut pandang. Sangat sulit menentukan jawaban karena jawaban tersebut
bersifat icon yang mewakili dunianya. Tidak sembarang orang yang membuat soal dan
hanya para dewa yang mampu menjawab.
Mau tidak
mau kita harus mengakui bahwa bapak Marsigit adalah dewa didepan kita para
mahasiswanya. Dewa itu hanya berbeda umur, beda pengalaman, beda dimensi, dan
sebagainya. Kita adalah dewa dari diri kita yang tadi, karena yang tadi belum
tahu sekarang sudah menjadi tahu. Orang yang tidak paham didalam dunia selalu
dihantui dengan ketakutan mitos, siang dan malam ketakutan dengan dewa. Padalah
sebetulnya kalau diungkapkan “tiada sesuatu yang berubah kecuali perubahan itu
sendiri” . Kadang-kadang orang terjebak dalam ruang dan waktu yang gelap
termakan oleh mitosnya sendiri. maka manusia harus selalu berpikir agar dapat
terlepas gelapnya mitos.
Siswa adalah
daksa dan guru adalah dewanya. Maka para dewa harus bisa menembus ruang dan
waktu sesuai dengan komunitasnya. Artinya jika kita mau turun menembus ruang
dan waktu kita harus melepas baju dewanya, agar tidak menakut-nakuti sehingga
berdampak kehancuran. Demikian pula ketika akan bertemu para dewa maka kita
mempersiapkan alat khusus, seperti misalnya jika pak Jokowi akan bertemu dengan
Obama, maka dia harus memakai jas dan dasi, jika pak Jokowi menggunakan batik,
malah dikira kaum tribal.
Untuk
menjadikan batik sebagai icon universal maka harus merubah paradigma, dunia,
teori, ideologi, politik, dan seterusnya. Maka ketika ada serangan bom di
Paris, Obama mengatakan ini menyerang universal value, sedangkan universal
value sekarang dipegang oleh powernow. Perjuangan dari lokal menuju universal
value tidak mudah, belum tentu lima generasi bisa merubahnya. Malah kecenderungannya
sebaliknya, kita akan kehilangan lokal, dan akan tersedot menjadi universal
value yang seperti mereka (powernow).
Jawaban dari
pertanyaan tes jawab singkat bisa 1001 macam, namun terpilih dari reduksi. Dipilih
reduksi secara hati – hati itu yang sesuai dengan ruang dan waktunya.
Pertanyaan kedua
dari saudari Atik Lutfi Ulin Ni’mah, dia bertanya tentang bagaimana seseorang
dapat dikatakan sebagai sufi? kemudian apa beda epoche dengan reduksi?. Jawaban
bapak Marsigit terkait spiritual, terkait pengalaman pribadi beliau. Seorang
sufi sebenarnya adalah orang yang mencoba mencari metode berdoa yang
disesuaikan dan dikembalikan secara otentik berdasarkan aslinya. Contohnya ketika
kita menyakini nabi-nabi kita sesuai dengan keyakinan masing-masing, misalnya
nabi Muhammad SAW, walaupun beliau sudah meninggal, bagaimana kita meyakini dan
bagaimana kita menghormatinya dengan nabi – nabi yang lain. Di dalam doa tidak
sekedar hormat, hormat itu baru adabnya saja dalam berdo’a.
Pada suatu
ketika para sahabat sedang berkumpul dengan para nabi, kemudian ada salah satu
sahabat yang bertanya “wahai Rasul, saya ingin mengetahui sebenar-benar dirimu
itu siapa, saya ingin mengetahui sebenar-benar wajahmu itu seperti apa”. Maka Rasulullah
SAW mengatakan, “kalau engkau ingin melihat wajahku, tengoklah pada telinga anak
saya, fatimah”. Semua sahabat satu persatu menengok dan melihat telinga fatimah
namun hanya menemukan gelap, tidak ada apa – apanya. Namun hanya satu orang
sahabat yang tidak mau menengok, yaitu Abu Bakar Ash-Shiddiq. Rasululloh pun
bertanya kepada abu bakar “yaa Abu Bakar, kanapa engkau tidak mau
menengok(lubang telinga fatimah)?”. Abu Bakar menjawab, “tidak perlu aku
menengok lubang telinga anak anda, setiap hari ketika tidur, bangun dan dalam
keadaan apapun aku sudah melihat wajahmu, aku sedang melihat wajahmu dan akan
selalu melihat wajahmu”. Abu Bakar Ash – Sidiq adalah murid Rasulullah yang
paling cerdas.
Rasulullah adalah
murid malaikat jibril, malaikat jibril adalah utusan dari Tuhan. Maka dari
Tuhan mengalirlah sinar. Kalau berguru terus menerus dari para ulama dan
sebagainya kemudian diyakini, maka para ulama ada yang meyakini ahli sunnah wal
jamaah. Ketika mendekati sufi, sufi itu mempunyai medan doa. Kalau mendekat
seperti ketularan punya energi yang sama dengan sufi. Maka ketika berdoa, seluruh
sel tubuh sudah terlalu besar, dilihat secara mikro, terdapat pusat simpul – simpul doa itu. Bagaikan
penggambaran elegi menggapai ramai dan elegi menggapai sepi. Di dalam sepi kita
berdoa menghayati segala sesuatu yang telah diperbuat, segala dosa, dan sampai ketakutan
dalam diri sendiri. Seluruh tubuh berdoa sehingga terjadilah ramai dalam
kesepian diri. Berdoa dalam khasanah bapak Marsigit yang paling tinggi adalah
memohon ampun dan menyebut nama Tuhan, sesuai dengan agama kita masing –
masing, jaminan orang yang mati ketika berdoa adalah masuk surga.
Pertanyaan ketiga
adalah dari saudari Tri Rahmah Silviani, tentang bagaimanakah jika khayalan
terlalu tinggi hingga melampaui batas kuasa tuhan? Jawaban beliau bapak Marsigit
adalah, dikendalikan dengan iman dan taqwa, dengan spiritual. Dalam elegi paradoks
tukang cukur yang berisi apapun sebenarnya menghasilkan kontradiksi, seperti fenomena
comte. Jika dikembangkan secara intensif dan ekstrensif, fenomena comte mencampur
adukkan antara postif dan negatif menjadi satu. sehingga dalam dimensi
tertinggi spiritual, orang tersebut tidak akan masuk surga karena masih ada
unsur neraka dalam dirinya.
Contoh bermain-main
dengan filsafat yang melampaui batas adalah ketika ada pertanyaan “karena tuhan
maha kuasa, apakah tuhan mampu menciptakan batu yang sangat besar dan sangat
berat sedemikian rupa sehingga tuhan sendiri tidak mampu untuk mengangkatnya?”.
Pemikiran seperti itu sebaiknya dihentikan saja. Beristighfarlah.
Pikiran kita
hanya terbatas karena ketidaksempurnaan manusia. Karena manusia tidak sempuran sehingga
Immanuel Kant menyebutkan “dunia ini ada awal dan tidak ada awal”. Secara matematik
Immanuel Kant bisa membuktikan bahwa dunia punya awalan, ada permulaan, namun
secara bersamaan dunia itu bisa dikatakan tidak punya awalan, karena secara
filsafat manusia tidak sempurna. Secara keyakinan, dunia itu berawalan dan
berakhiran namun hanya tuhan yang mampu mengawali dan mengakhiri. sedangkan
jika dilihat dari fikiran manusia dunia tidak berakhir namun ada akhir. yang
terpenting adalah kita punya keimanan pada diri kita.
0 komentar: