aku bisa berfilsafat menembus ruang dan waktu berangkat dari sebuah batu
Refleksi kuliah 6 Filsafat Ilmu
Pendidikan
(pasca tes menembus ruang dan waktu)
NURAFNI RETNO KURNIASIH / 15709251007
Selasa, 20 Oktober 2015 ruang 305b
gedung pasca lama.
Prof.Dr.Marsigit, M.A.
Kuliah pada pertemuan keenam dengan bapak Prof.Dr.Marsigit,
MA di kelas A Program Pascasarjana UNY jurusan pendidikan matematika semester
1 angkatan 2015 pada pukul 11.10 dihadiri
oleh mahasiswa kelas A yang berjumlah 20 orang. Setelah diadakannya tes ketiga
tentang “Batu yang Menembus Ruang dan Waktu”, satu jalan untuk mendapat kunci
membuka pikiran kembali didapatkan, mengadakan dari yang mungkin ada menjadi
ada. Hasil ujian dan nilainya menurut saya tidak terlalu penting di dalam
filsafat, yang penting adalah ketika kita melakukan tes dan mendapat nilai yang
tidak sesuai harapan kita, kita jadi bisa merefleksikan diri kita,
mengintrospeksi diri, bahwa sebenarnya kita masih kurang ilmu, masih kurang
membaca, kurang membuka pikiran kita dan kita tidak boleh sombong. Dengan
mendapat nilai yang tidak sesuai dengan harapan kita,kita akan menjadi orang
yang rendah hati, lebih rajin membaca elegi, rajin beribadah, lebih iklhas dan
bersyukur, serta melatih kesabaran.
Seperti pertemuan sebelumya, pertanyaan
datang dari mahasiswa untuk pak Marsigit. Pertanyaan pertama adalah terkait
dengan batu yang menembus ruang dan waktu dengan tingkatan-tingkatannya yaitu material,
formal, normatif, spiritual, insting/instuisi, pengalaman.
Struktur itu banyak beragam jenisnya, siang
dan malam itu struktur dunia, atas dan bawah juga struktur, kiri dan kanan juga
struktur, jauh dan dekat juga struktur. Belfilsafat itu intensif dan ekstensif,
dalam sedalam dalamnya dan luas seluas – luasnya. Jika kita mengidentifikasi
semua struktur maka tidak akan pernah selesai. Maka kita ambil struktur istimewa
yang strategis dan potensial. Di dalam mempelajari filsafat ada struktur yang
bermanfaat serta efisien dan efektif yang dapat kita pakai yaitu material,
formal, normatif dan spiritual untuk menyadarkan diri kita. Jika kita ingin
sukses kita harus sopan dan santun terhadap ruang dan waktu. Sopan dan santun
terhadap ruang waktu bukan sesuatu yang tetap, tapi sesuatu yang dinamik,
keseimbangan antara diam dan tetap, atau menembus ruang dan waktu. Manusia,
binatang, tumbuhan dan bahkan batu yang diam pun dapat menembus ruang dan waktu.
Diam – diam batu juga mengikuti kalender,
sadar maupun tidak sadar. Yang menyadari adalah subjeknya. Yang jadi masalah
adalah bagaimana hidup ini punya ketrampilan menembus ruang dan waktu. Untuk
dapat menembus ruang dan waktu kita memerlukan perbendaharaan kata. Sebenar –
benar dunia adalah bahasa. Maka filsafat bahasa/ filsafat analitik, dunia itu
adalah kata – kataku,maka sebenar kata – katamu itulah menunjukkan duniamu,
maka berhati – hati lah dalam berkata. Dilihat dari sisi spiritual, kata – kata
adalah doa. Maka hati – hati juga kalau marah, orang marah disebut determinis,
determinis itu menembus ruang dan waktu yang salah, maka perjuangan hidup yang
benar adalah menembus ruang dan waktu yang bijaksana, setiap orang dan setiap
daerah berbeda – beda dalam menembus ruang dan waktu.
Dalam tes ini kalau di ekstensikan hanya batu
saja yang menjadi topik, belum tentang bilangan. Dari pertanyaan spiritualnya
bilangan, normatifnya bilangan, ketetapannya bilangan, dll. Secara ontologis
ada perbedaan karakter antara batu dengan bilangan, batu berada di luar
pikiran, sedangkan bilangan berada di dalam pikiran. Artinya aku bisa
berfilsafat berangkat dari sebuah batu, bilangan, manusia, konsep spiritual,
dll. Agar kita bisa membangun dunia, kita perlu memiliki kemampuan ketrampilan
menembus ruang dan waktu. Agar kita memiliki kemampuan ketrampilan menembus
ruang dan waktu dengan benar dan baik sesuai tujuan diperlukan pengetahuan
perbendaharaan kata. Kita perlu pengetahuan menembus ruang dan waktu sesuai
dengan norma pengetahuan adab dst. agar terhindar dari godaan setan.
Pertanyaan kedua adalah tentang bagaimana filsafat
memandang kepercayaan seseorang. Percaya itu ada di dalam ada di luar, ada di
dalam hubungan atara anda sebagai subjek dan di luar sebagai objek. Jikalau
subjeknya dirimu maka selain dirimu adalah objeknya atau sifat – sifatnya. Maka
percaya itu di dalam hati naik ke pikiran, sedangkan benar itu di dalam pikiran
turun ke hati. Maka dalam berfilsafat itu mencari kepastian dan mencari
kebenaran. Tetapi setelah engkau mencari kepastian, itu pertanda engkau
tertangkap ruang dan waktu yang salah atau mitos. Kepastianmu itulah sebagai suatu
mitos kecuali kepastian itu adalah keyakinanmu di dalam spiritualitasmu, itu
bukan mitos melainkan keyakinan. Mitos artinya sebatas yang dapat engkau pikirkan
(urusan dunia). Itu sebabnya di dalam filsafat membongkar kepastian – kepastian
itu. Di dalam psikologi turun dalam psikologi , di dalam hati ada interaksi
antara hati dan fikiran yang menghasilkan interaksi, fenomena dan aktivitas.
Aliran tidak percaya (dalam dunia filsafat
aliran ketidak percayaan adalah skepticism) tokohnya adalah Rene Descartes. Rene
Descartes punya pengalaman bermimpi betul – betul khusyuk, efektif, intensif, sehingga
dia tidak dapat membedakan mimpi atau bukan. Karena konteks mimpinya di musim
dingin penuh salju, antara dunia mimpi dan kenyataan hampir sama. Rene Descartes
meragukan semuanya bahkan keyakinannya sehingga dia mencari kepastian apa yang
sebenarnya dapat dijadikan tonggak. Kebingungan Rene Descartes antara dunia nyata
dan mimpi memunculkan kepastian yang tidak bisa dibantah bahwa dengan
membedakan kenyataan dan mimpi adalah aku sedang bertanya atau yang memikirkannya.
Co gito ergo sum (aku ada karena aku berfikir). Sehingga ada konsep ada,
mengada dan pengada. God fathernya kepercayaan kalau anda kembangan jadilah Rene
Descartes, tidak percaya kepada semuanya dalam rangka untuk menemukan Tuhan. Filsafat
itu adalah diriku sendiri. Jadi ketika kemarin percaya dan sekarang percaya itu
mungkin saja bisa terjadi, semua itu termasuk makrokosmis dan mikrokosmis.
Era kehidupan dipakai, contohnya bagi yang
tidak mau memberi komentar di blog dianggap tidak ada, perwakilan Indonesia
yang tidak berbicara di forum Internasional dianggap tidak ada di dunia
Internasional, Indonesia tidak membantu negara lain yang terkena bencana maka
Indonesia dianggap tidak ada. Demikian menyadarkan pada diri kita, bahwa kita
bisa membangun dunia dari yang ada dan yang mungkin ada dari kacamata filsafat.
Jika kita diliputi keragu-raguan maka perbanyak istighfar, perbanyak doa yang
kontinue dan valid, agar valid penuhilah tata cara dan adab berdoa. Semoga kita
selalu meningkatkan kecerdasan hati dan kecerdasan pikir. Amiin.
0 komentar: