hidup adalah interaksi antara pikiran dengan pengalaman

14.43 RetnoAfni 0 Comments



Refleksi kuliah 5 Filsafat Ilmu Pendidikan
NURAFNI RETNO KURNIASIH / 15709251007
Selasa, 13 Oktober 2015 ruang 305b gedung pasca lama.
Prof.Dr.Marsigit, M.A.

Kuliah pada pertemuan kelima dengan bapak Prof.Dr.Marsigit, MA di kelas A Program Pascasarjana UNY jurusan pendidikan matematika semester 1  angkatan 2015 pada pukul 11.10 dihadiri oleh mahasiswa kelas A yang berjumlah 20 orang. Setelah melakukan absensi, bapak Marsigit meminta mahasiswa untuk mengeluarkan satu lembar kertas dan menyuruh untuk memberi nama pada kertas itu. Nampaknya tes dadakan kembali dilaksanakan seperti pertemuan sebelumnya.
Setelah tes diadakan, beberapa mahasiswa yang terpilih mengajukan pertanyaan. Pertanyaan pertama adalah tentang “Apakah jodoh bersifat relatif?”.  Dalam filsafat terdapat tataran dimensi. Dimensi mulai dari yang paling bawah adalah dimensi material, kemudian naik diatasnya yaitu dimensi formal, lalu dimensi normatif,dan dimensi tertinggi yaitu dimensi spiritual. Masalah jodoh jika dijelaskan ruang lingkupnya luas, penjelasan dapat dilihat dari sisi perkawinan, sisi percintaan ataupun sisi pernikahan. Pernikahan itu mempunyai struktur lengkap, yaitu material, formal, normatif, dan spiritual. Ada bagian/ unsur dari pernikahan dimana kita tidak akan mampu memikirkannya. Oleh karena itu, dimensi tertinggi dalam filsafat adalah spiritual sehingga hal – hal dalam pernikahan diselaraskan dengan doa. Jodoh tidak hanya ada pada manusia, namun hewan dan tumbuhan juga berjodoh. Tumbuhan berjodoh karena memiliki potensi, hewan memiliki naluri, dan manusia memiliki intuisi, intuisi itulah yang akan menjadi pengalaman. Aturan tatanan letak kata yang menyesuaikan keadaan disebut menembus ruang dan waktu.
Melengkapi jawaban atas pertanyaan diatas, tiadalah berfilsafat kalau tidak berdasarkan pikiran para filsuf. Maka jika ingin mendapat jawaban yang tuntas mengupas jodoh dari sisi filsafat, maka bacalah pikiran para filsuf tentang jodoh. Sehebat – hebat pikiranku tidaklah aku mampu menjelaskan semua perasaanku. Itu adalah pertanda bahwa pikiran kita tidak mungkin menjangkau spiritualisme secara total, hanya mampu sebagian kecil saja. Sehebat – hebat kalimatku/ perkataanku tidaklah mungkin aku mampu mengucapkan semua pikiranku. Sehebat – hebat tulisanku tidaklah mungkin aku mampu menuliskan apa yang aku ucapkan. Sehebat – hebat tindakanku tidaklah mungkin aku melaksanakan semua tulisanku.
Pertanyaan kedua adalah tentang “bagaimana jika tujuan hidup manusia tidak terpenuhi?”. Banyak perspektif untuk mejawabnya, salah satunya adalah dari sisi tesis dan antitesis. Pemikiran yang idealis adala sesuatu yang ada di dalam pikiran kita, namun antara fakta dan pikiran belum tentu sinkron. Seperti usaha dalam berpikir/ hidup, tidak lain adalah berasal dari dua unsur atau banyak yang kita sintesiskan. Contohnya sintesis antara berhasil dan belum berhasil, sintesis antara kenyataan dengan tujuan, sintesis sakit dan sehat, dll. Kemudian apabila dibawa masuk ke ranah spiritual, apa yang dipikir manusia bersifat relatif. Karena relatif, manusia tidak mengerti bahwa kriteria keberhasilan yang dikehendaki punya perspektif lain yang tidak disadari. Misalnya setelah gagal di suatu tempat, lalu bertawakal, berdoa dan masih tetap berusaha, maka dia akan menemukan keberhasilan namun dengan karakter yang berbeda dengan makna yang justru berlipat ganda. Karena relatif, kita harus selalu positif thinking kepada Tuhan. Negatif thinking dalam filsafat dinamakan mendahului kehendak tuhan.
Pertanyaan ketiga adalah “mengapa matematika disebut koherentism?”. Dalam hal ini yang dibicarakan adalah matematika murni. Matematika murni itu hanya terdiri dari definisi, aksioma, dan teorema. Adapun teorema yang ke-1000 harus identik dengan teorema yang pertama, tidak boleh bertentangan (identitas). Yang dipentingkan adalah konsisten. Konsisten dalam filsafat adalah koheren, alirannya adalah koherentism. Lawan dari koheren adalah yang cocok dengan ruang dan waktu yaitu korespodensi. Contohnya adalah apa yang ada didalam pikiranmu itu dinamakan koheren, dan apa yang ada di dalam penglihatanmu dinamakan koresponden.
Jadi itulah yang dinamakan berfilsafat, maka jika ada eksperimen tentang bisakah kita hidup hanya dari pikran saja? atau bisakah kita hidup dari pengalaman saja? Tentunya tidak bisa karena hidup itu adalah interaksi antara pikiran dengan pengalaman.

0 komentar: