Objek, Masalah, Alat, dan Metode Berfilsafat serta Prinsip Berfikir dalam Filsafat

15.39 RetnoAfni 0 Comments



Refleksi kuliah 2 Filsafat Ilmu Pendidikan
NURAFNI RETNO KURNIASIH / 15709251007
Selasa, 15 September 2015 ruang 305b gedung pasca lama.
Prof.Dr.Marsigit, M.A.

Seperti pada pertemuan pertama, mahasiswa kelas A yang berjumlah 19 orang disuruh untuk membentuk bangku menjadi setengah lingkaran mengelilingi bapak Marsigit. Setelah di awali dengan berdoa, pertemuan kuliah kedua dengan bapak Prof.Dr.Marsigit, MA di kelas A Program Pascasarjana UNY jurusan pendidikan matematika semester 1  angkatan 2015 pun dimulai. Jam sudah menunjukkan pukul 11.20. Sebelumnya mahasiswa ditugaskan untuk membuat satu pertanyaan, kemudian pertanyaan-pertanyaan itu dikumpulkan.
Objek filsafat adalah yang “ada” dan yang “mungkin ada”. Maksud dari yang “mungkin ada” sangat luas, tidak bisa disebutkan satu persatu karena jumlahnya bermilyar-milyar sampai tak terhingga. Contoh hal yang “mungkin ada” adalah kejadian esok pagi dan kejadian di waktu lampau. “Mungkin ada” disini ditekankan pada tujuannya terlebih dahulu, mungkin ada bagi siapa. Karena “ada” bagi saya belum tentu “ada” bagi dirimu. “Ada” bagi dirimu belum tentu “ada”bagi saya. “ada” ku bisa jadi “mungkin ada” bagimu dan “ada” mu bisa jadi “mungkin ada” bagimu. Bisa juga “ada” untuk diriku dan “ada” untuk dirimu, contohnya adalah mata kuliah filsafat yang sedang dilakukan.
Contoh penjelasan objek filsafat, adalah kejadian di masa lalu dan di dalam pikiran bapak Marsigit. Mahasiswa tidak mengetahui tanggal lahir cucu beliau. Itu berarti “ada” dalam diriku tapi “tidak ada” dalam dirimu. Tetapi bisa saja menjadi “mungkin ada”, ketika mahasiswa mulai memikirkan tanggal lahir cucu beliau. Selanjutnya ketika mahasiswa sudah diberi tahu tanggal lahir cucu beliau, menjadi “ada” pada dirimu dan “ada” pada diriku.
Pada hakekatnya belajar filsafat adalah hanya mengadakan dari yang “mungkin ada” menjadi “ada”. Kemudian jika yang “ada” lalu kita menjadi  “lupa”, kita harus bersyukur kepada Allah SWT karena itu adalah bagian dari keterbatasan manusia. Berkaitan dengan yang “ada di dalam pikiran” dan “ada di luar pikiran”, contohnya adalah jika kita meletakkan kacamata di atas meja, kacamata tersebut terlihat oleh mata kita, berarti kacamata tersebut “ada di luar pikiran” kita, karena secara fisik kacamata itu berada di luar pikiran. Kemudian kacamata itu dibungkus dengan kertas sehingga menjadi tertutup atau tidak terlihat, berarti kacamata tersebut “ada di dalam pikiran”. Persepsi “ada” dan “tidak ada” di dalam pikiran itu bisa berbeda jawaban, tergantung aliran filsafat mana yang kita pakai atau kita ikuti. Aliran filsafat realis murni yang dianut Aristoteles mengatakan bahwa kacamata yang tertutup kertas itu sudah hilang, karena tidak bisa dilihat, didengar dan disentuh. Tetapi berbeda jawaban dengan aliran filsafat idealis yang dianut Plato. Aliran idealis mengatakan bahwa kacamata itu terlihat sangat jelas dan terang benderang di dalam pikiran (menganggap ada walau hanya ada di dalam pikiran).
Problem filsafat ada dua macam, yang pertama adalah “jika dia diluar pikiranmu, bagaimana engkau mengertinya”. Yang kedua adalah “jika dia (yang engkau pikirkan) ada di dalam pikiranmu, bagaimana engkau mampu menjelaskannya”. Setiap manusia yang masih berfikir berarti dia hidup. Hidup itu tidak konsisten di dalam kekonsitensiannya, dan sebaliknya, hidup itu konsisten di dalam tidak kekonsitensiannya. Kehidupan adalah manusia yang tidak sempurna, sangat banyak hal yang tidak diketahui oleh manusia. Manusia hanya bisa berusaha menuju ke kesempurnaan di dalam keterbatasan yang di anugerahkan Allah SWT. Cara mensyukuri nikmat yang diberikan Allah SWT adalah dengan berfilsafat, salah satu contohnya dengan membandingkan tubuh manusia dengan mesin. Dengan membandingkan betapa sempurnanya manusia daripada mesin, kita bisa mengetahui kelembutan ilmu Tuhan.
Jika kita sebut nama manusia, nama itu hanyalah sebuah wadah atau simbol. Sedangkan bagian tubuh manusia yang bisa disentuh adalah bagian. Sebagai contoh, ketika kita memeluk orang tua misalnya ayah. Yang kita peluk adalah badannya, tetapi yang dinamakan ayah berada di dalam hati dan pikiran. Itulah sebabnya cara kita berbakti dengan orang tua adalah dengan cara memikirkannya. Karena sebenar-benar orang tua hanya ada di dalam pikiran. Ketika kita berbicara hakekat orang tua dengan mengarah ke dimensi spiritual, orang tua kita berada di dalam hati kita yaitu ada di dalam doa. Maka cara untuk berbakti dengan orang tua adalah dengan cara mendoakannya. Dalam filsafat, jarak antara pikiran dan hati adalah jarak antara dunia dan akhirat.
Prinsip berfikir di dunia menurut Immanuel Khan ada dua, yang pertama yaitu prinsip kontradiksi (predikat tidak sama dengan subjeknya). Prinsip kontradiksi contohnya adalah rambut hitam, hitam tidak sama dengan rambut, karena hitam adalah predikat dan rambut adalah subjeknya. Rambut sebagai wadah, dan hitam sebagai isi, dalam hal ini isinya bisa terjadi tidak hanya hitam, namun bisa berubah-ubah. Maka secara filsafat, sebenar-benar hidup adalah interaksi antara wadah dengan isi. Yang kedua yaitu prinsip hukum identitas. Sebagai contoh, ketika a = a . Dalam matematika a = a berarti nilai a sama, namun dalam filsafat a tidak sama dengan a. Perbedaannya adalah a yang berada di depan, pertama kali diucapkan sedangkan a yang berada di belakang, terakhir diucapkan. Bisa juga terjadi perbedaan karena ruang dan waktu, a yang pertama ada ketika musim kemarau dan a yang kedua ada ketika musim hujan, atau a yang pertama gemuk sedangkan a yang kedua kurus. Disini jelas bahwa a tidak sama dengan a karena ruang dan waktu yang berbeda tersebut. Dalam filsafat, benar artinya sesuai dengan ruang dan waktu. Salah artinya tidak sesuai dengan ruang dan waktu. Ruang dan waktu disini bersifat relatif.
Secara filsafat, matematika hanya ada dua macam,yaitu aritmatika dan geometri. Selanjutnya hanya kombinasi interaksi / gabungan / variasinya. Aritmatika secara filsafat berarti waktu, dan geometri secara filsafat berarti ruang. Matematika murni termasuk dalam aliran platonisme, karena matematika murni dianggap tidak perlu ada di dunia. Matematika murni lebih mempelajari tentang logika, logika adalah tautologi atau identitas, yaitu teorema yang satu dengan teorema yang lain harus selalu identik. Menurut pemikiran Imanuel Kant, matematika murni bukanlah sebenar-benar ilmu karena hanya logika saja, karena sebenar-benar ilmu harus lah pengalaman yang dipikirkan dan pikiran yang diterapkan (sintetis a priori).
Alat berfilsafat adalah bahasa analog. Bahasa analog lebih lembut dan lebih mendasar dari bahasa kiasan, misalnya kata hati dalam bahasa analog bisa bermakna, doa, Tuhan, spiritualitas, dan akhirat. Metode berfilsafat adalah metode hidup, artinya ada interaksi dalam kehidupan. Belajar matematika dengan filsafat seharusnya dengan metode hidup, ketika mengajar menjadi guru di sekolah dengan metode hidup, siswa bisa belajar tanpa menyadarinya dan juga dengan kesadarannya bisa tetapi tidak mengalami kegoncangan.

0 komentar: