Pertanyaan Besar, Jawaban yang Tidak Mutlak dan Alternatif Cara Berfikir
Refleksi kuliah 3 Filsafat Ilmu
Pendidikan
NURAFNI RETNO KURNIASIH / 15709251007
Selasa, 22 September 2015 ruang 305b
gedung pasca lama.
Prof.Dr.Marsigit, M.A.
Pertemuan kuliah ketiga dengan bapak Prof.Dr.Marsigit,
MA di kelas A Program Pascasarjana UNY jurusan pendidikan matematika semester
1 angkatan 2015 dimulai dengan salam dan
motivasi-motivasi singkat. Jam sudah menunjukkan pukul 11.10. Sebelumnya
mahasiswa ditugaskan untuk membuat satu pertanyaan, kemudian
pertanyaan-pertanyaan itu dikumpulkan. Bapak marsigit memberi kesempatan kepada
mahasiswa untuk menyampaikan pertanyaan.
Pertanyaan pertama yang disampaikan mahasiswa
adalah tentang permasalahan yang dihadapi siswa jaman sekarang, bahwa siswa
lebih memilih untuk mengerjakan segala sesuatu secara instan. Misalnya dalam
mengerjakan soal matematika, siswa lebih memilih menggunakan cara yang mudah
daripada menggunakan cara yang lebih rumit.
Jawaban dari pertanyaan tersebut adalah dengan
membuat tesis dan antitesis terlebih dahulu. Antitesis yang dibuat adalah
“kalau bisa mengerjakan yang sulit, mengapa cari yang mudah”. Pekerjaan semacam
itu memang mudah diucapkan namun sangat sulit dilaksanakan. Dari sudut pandang
psikologi, keadaan tersebut memang terdapat perbedaan antara sikap/ pendirian/
kebiasaan/ pikiran antara si pelaku pertama dengan pelaku kedua. Pelaku pertama
yang mempunyai sikap/ pendirian/ kebiasaan/ pikiran “kalau ada yang mudah
mengapa cari yang sulit, kalau bisa dipermudah kenapa dipersulit” dan pelaku
kedua yang mempunyai sikap/ pendirian/ kebiasaan/ pikiran “kalau bisa
mengerjakan yang sulit, mengapa cari yang mudah”. Apabila diidentifikasi dari
sisi psikologis, pelaku pertama bersikap tidak mau berjuang, sudah nyaman di
zona aman, tidak mau meningkatkan diri, santai , gampang menyerah, tidak ingin
berkembang, tidak mau bekerja keras, motivasinya kurang, defensif, tidak
kreatif, masa bodoh, tidak cerdas, budaya instan, dan bekerja dengan cara yang
singkat, dll. Sebaliknya pelaku kedua bersikap berlawanan dari pelaku pertama yaitu
kreatif,cerdas, ulet, bekerja keras, suka tantangan, ingin berkembang, rasa
ingin tahu tinggi, banyak motivasi, dll. Hidup adalah interaksi antara yang
pertama dan yang kedua tersebut. Jika kita ingin hidup lebih baik maka berhijrahlah
dari kehidupan seperti pelaku pertama ke kehidupan seperti pelaku kedua.
Pertanyaan kedua yang datang dari mahasiswa adalah
mempertanyakan tentang bagaimana tanggapan filsafat tentang pendapat penciptaan
alam semesta itu dengan konsep ada dan tiada. Pertanyaan diselaraskan dengan bagaimana pandangan agama tentang
makhluk pertama manusia yang berdasarkan temuan Darwin, nenek moyang manusia
adalah binatang monyet. Sementara orang beragama apapun percaya bahwa nenek moyang
manusia adalah manusia, manusia pertama yaitu nabi Adam as. Berdasarkan
pemikirannya, Darwin membuat teori
evolusi hukum sebab akibat. Teori Darwin yang dinamakan teori pengembangan
potensi diri adalah jika setiap pagi manusia belajar terbang terus menerus
selama masa hidupnya sampai turun temurun selama bermilyar-milyar keturunan,
Darwin berharap nantinya semua manusia bisa terbang. Teori Darwin tentang pengembangan
potensi diri, kemudian ditangkap oleh Imanuel Kant sebagai teologi. Segala macam
perkiraan masa depan masuk kedalam teologi. Pendapat mengenai teori evolusi pada
dasarnya adalah filsafat, segala sesuatu di dunia mengalami perubahan. Tiadalah
di dunia ini yang tidak bersifat tetap.
Dalam hal apapun, dengan filsafat kita selalu bisa
mendefinisikan hidup. Hidup itu adalah dari yang ada dan yang mungkin ada. Maka
aku bisa menjadi kaya akan definisi tentang hidup sebanyak yang ada dan yang
mungkin ada. Di dalam diri ini ada dua unsur yaitu yang tetap dan yang berubah.
Salah satu sifat objek filsafat adalah tetap dan berubah, ternyata hidup itu
adalah tetap di dalam perubahan,dan berubah di dalam ketetapan.
Di dalam filsafat itu tidak ada yang benar dan salah,
yang tepat adalah yang sesuai dengan ruang dan waktu. Dalam sisi spiritual, kebenaran
itu bersifat absolut; agama merupakan dogma, suatu kebulatan. Dengan berbekal
keyakinan kita dalam agama bahwa nenek moyang kita adalah nabi Adam as, kita
tidak akan goyah dengan pendapat orang lain tentang teori-teori evolusi manusia
atau misalnya, teori penciptaan alam semesta dari awal sampai sekarang dengan
perhitungan radiasi nuklir sehingga bisa mempengaruhi jenis, pola perilaku dan
bentuk manusia.
Perbedaan kultur budaya manusia di dunia barat dan
timur juga berpengaruh terhadap pola pikir masyarakatnya. Dalam hal meyakini
adanya Tuhan, kita harus meyakini dalam hati bahwa Tuhan itu ada, tidak hanya
dipikirkan. Imam Gozali mengatakan, “jika engkau ingin bertemu Tuhan, jangan
engkau pikirkan saja, tapi kerjakanlah”. Filsafat timur mengenalkan ontologi
gerak, jadi cara untuk mengenal Tuhan, kerjakanlah dengan cara pergi beribadah
di tempatnya masing-masing. Jikalau nanti Tuhan mengijinkan, engkau akan
bertemu tuhanmu. Dunia barat dan timur juga berbeda pandangan terhadap nilai
bijaksana. Arti bijaksana dalam dunia barat dalam keadaan masyarakat yang
terbuka pemikirannya, adalah orang yang sedang mencari ilmu. Berbeda dengan arti
bijaksana versi orang timur, karena masyarakatnya sudah tertutup pemikirannya,
maka yang dikatakan bijaksana adalah orang yang memberi. Maka dari itu tidak
mudah menjadi pejabat di timur, karena dia harus bisa mensejahterakan rakyatnya
dengan memberi. Itulah alasan mengapa korupsi sangat subur di negeri timur.
Menanggapi hal tersebut, salah satu mahasiswa
mengajukan pertanyaan terkait teori – teori pengetahuan. Agama merupakan suatu
dogma yang kita terima secara utuh, kemudian ilmu fisika juga kita terima
karena ada aplikasinya, lalu adanya teori bigbang atau teori evolusi darwin
yang menjadi sebuah teori yang kita percaya sampai sekarang dan dipelajari
banyak orang padahal buktinya belum tentu ada. Pertanyaan yang diajukan adalah mengapa
teori tersebut bisa diterima dan di publikasikan secara utuh?
Menjawab pertanyaan tersebut diatas, teori bisa
dikenal karena memang ditulis, ada buku sebagai rujukan, teori tersebut dipublikasikan,
ada sponsorship, sengaja di hidup-hidupkan, dan karena memang ada manfaatnya.
Manfaat dari teori terebut digaris bawahi yaitu hanya untuk level tertentu. Sebagai
contoh, ketika kebebasan berfikir orang bisa mencapai tingkat liar tanpa batas,
salah satu ilmuan yaitu Steven menyimpulkan bahwa alam semesta terjadi begitu
saja dengan sendirinya tanpa campur tangan tuhan. Dilihat dari sisi spiritualitas
hal itu merupakan kesombongan yang luar biasa. Ketinggian berfikir dan kecerdasan
ilmu disalahgunakan untuk kesombongan diri. Untuk itu, agar kita mempelajari filsafat
dengan tetap dalam koridor yang benar, kita harus benar-benar menetapkan hati
kita. Ketika teori tersebut sudah menyentuh aqidah keyakinan seeorang tentang
agama, kita harus mempunyai keyakinan sendiri. Teori tersebut cukup dipakai sebagai
pengetahuan saja dan tidak kita yakini.
Kembali mengingat tentang objek filsafat, objek
filsafat adalah yang “ada” dan yang “mungkin ada”. Sifat objek filsafat adalah “semua
yang engkau pikirkan”, apapun itu adalah sebuah wadah. Wadah yang kau sebut yang
“ada” dan yang “mungkin ada” adalah merupakan isi. Sebenar-benar wadah
merupakan subjek, dan isi merupakan predikat. Tidak akan pernah ada di dunia
ini dalam pikiran kita predikat sama dengan subjeknya. Wadah jika dinaikkan tingkatannya
secara spiritual terangkum menjadi satu yaitu kuasa Tuhan.
Orang di dunia yang bersifat plural tetapi bersikap
tunggal, dalam filsafat disebut fatal. Kaum fatal adalah orang yang hidupnya
100% terserah nasib dan takdir. Urusan akherat disebut fatal, urusan dunia disebut
vital. Ternyata itu bisa mendefinisikan hidup bahwa sebenar-benar hidup adalah
interaksi dinamik antara fatal dan vital. Berikhtiarlah seakan-akan masih ingin
hidup 1000 tahun lagi, berdoalah sekan-akan besok mau mati. Maka sifat tunggal
dari yang ada dan yang mungkin ada disebut mono, yang kemudian lahirlah filsafat
aliran monoisme / monisme. Dalam kehidupan masa kini, teknologi mengoptimalkan/
mengefisienkan urusan dunia dan harapannya berlanjut untuk mensupport urusan
akhirat.
Pertanyaan selanjutnya datang dari mahasiswa
berkaitan dengan takdir. Takdir yang sudah ditetapkan oleh Allah SWT salah
satunya adalah kematian. Cara kematian orang berbeda-beda, ada yang bunuh diri,
dibunuh, kecelakaan, dsb. Yang ditanyakan adalah jika orang yang bunuh diri itu
sudah menjadi ketetapan dari Tuhan, sedangkan bunuh diri dalam hukum Islam
adalah dosa, berarti orang yang melakukan bunuh diri itu berdosa, bagaimana
dengan amal-amal nya?
Jawaban dari pertanyaan tersebut dilihat dari cara
pandang yang berdimensi. Dengan penggunaan cara pandang yang berdimensi berarti
kita sedang berfilsafat, kemudian di interaksikan. Dari sisi spiritual sudah jelas
dikatakan dosa. Namun cara pandang filsafat tidak hanya dilihat dari sisi
spiitual. Dalam filsafat, takdir adalah sesuatu yang sudah terjadi karena
pikiran manusia. Jika pemikiran dinaikkan sedikit ke arah spiritual, takdir itu
tidak hanya yang sudah terjadi namun yang akan terjadi pula. Jika dibalik
kalimatnya, pasti benar bahwa yang terjadi itulah takdir, itu sudah pasti.
Lebih baik mengatakan yang kedua daripada yang pertama. Yang kedua bahwa yang
terjadi adalah sudah takdirnya. Maka yang belum menjadi takdir masih bisa di
ikhtiarkan. Kaitannya dengan fatal dan vital, fatal adalah takdirnya dan vital adalah
ikhtiarnya. Manusia bisa berikhtiar karena punya potensi. Hidup manusia tidak
bisa lepas dari takdir. Kita tidak bisa menetapkan takdir kita sendiri, seperti
menetapkan kelahiran/ jodoh.
Selanjutnya pertanyaan tentang bagaimana pandangan
filsafat tentang poligami. Jawaban dari sisi filsafat, hal itu tergantung level
pemahaman, darimana kita akan mengklaim hal itu. Kalau pemikiran dinaikkan
bahwa istri itu satu, satu istri itu diturunkan bahwa istri yang lain adalah sebagai
contoh-contoh, tapi tetap saja dalam pikiran hanya ada satu istri. Istri adalah
sebagai wadah, isinya ada (misalnya) empat istri, empat istri ini punya
contoh-contoh lagi, dsb. Hal itu tergantung level pemahaman dimensi berpikir
dan dimensi hidupnya.
Pertanyaan yang disampaikan selanjutnya adalah
tentang pertentangan pola pikir filsafat dengan motivator. Bahwa jika dalam
filsafat, segala sesuatu yang terjadi ditentukan oleh Tuhan, sedangkan motivator
punya target untuk menuju ke kesempurnaan. Menanggapi pertanyaan tersebut, segala
sesuatu selalu berpasang-pasangan dan selalu mencari jodohnya. Setiap yang ada
dan yang mungkin ada adalah suatu tesis, dan selain daripada satu yang ada, maka
yang lain adalah antitesisnya. Sebagai contoh, jika diriku adalah tesis maka
selain diriku adalah antitesis. Contoh lain, ketetapan yang sudah dibuat dalam
agama adalah tesis, dan di dalam filsafat antitesis nya adalah ikhtiar. Contoh
lain lagi yaitu tesis nya adalah fatal, dan antitesisnya adalah potensi. Maka tugas
motivator adalah mengembangkan potensi-potensi agar manusia memiliki potensi.
Maka sebenar-benar hidup adalah berkembangnya suatu potensi dari ada menjadi
pengada melalui mengada. Maka jika segala sesuatu ingin berubah harus diikhtiarkan
ke atas yaitu ke arah spiritual. Disitulah duduk keikhlasan. Tiada perubahan
tanpa keikhlasan. Keikhlasan adalah terwujudnya pengada atau wadah dari yang
ada melalui mengada, yaitu ikhtiar. Pengadanya adalah ada yang baru dari ada
yang lama. Jadi motivator itu selaras dan terangkum. Beda motivator dengan
filosofer adalah jika motivator sudah turun sedikit kemudian datar kontrol dan
kendali, seorang filosofer diibaratkan hanya duduk di lobby melakukan refleksi sedangkan
dia belum berjalan jalan lewat gang-gang sempit, seperti gang psikologi,
metafisik, matematika, gang ilmu bidang, dst.
Pertanyaan terakhir yang diajukan adalah bagaimana
mensinergikan apa yang ada di pikiran dan ada di hati agar ketika memberikan
keputusan tidak ada penyesalan. Berdasarkan hukum Immanuel Kant bahwa isi itu tidak
sama dengan wadahnya, walaupun wadah sekaligus sebagai isi dan isi sekaligus
sebagai wadah. Dalam filsafat, hal itu disebut kontradiksi. Tanpa adanya
kontradiksi tidak ada kehidupan. Hidup manusia memang selalu diwarnai dengan kontradiksi.
Manusia tidak bisa terhindar dari kontradiksi. Tinggal bagaimana mengidentifikasi
kontradiksi, yang seperti apa/ mana yang produktif, mana yang kontraproduktif. Semakin
rendah posisinya, semakin dia ada di dalam predikat, semakin tinggi
kontradiksinya. Semakin tinggi posisinya, semakin kecil kontradiksinya. Posisi
paling tinggi yang terangkum menjadi satu, yaitu kekuasaan Tuhan. Kekuasaan Tuhan
tidak ada kontradiksi. Tuhan tidak mengenal kontradiksi. Lalu kaitannya dengan perasaan
di dalam hati, Ilmu Pengetahuan bersifat kontradiksi antara tesis dan antitesis
sehingga menjadi sintesis pengetahuan baru. Sebagai seorang ilmuwan kita harus
siap melakukan sintesis-sintesis antara pengetahuan lama dan pengetahuan baru. Kita
diperbolehkan memperbesar kontradiksi namun jangan sampai kontradiksi itu
sampai turun ke hati, karena kontradiksi dalam hati adalah datang dari setan
dan hanya Tuhan yang mampu menolongnya yaitu dengan berdoa. Setinggi-tinggi doa
adalah memanggil namaNya dalam keadaan apapun. Sehingga kita harus selalu
berikhitar dan berdoa kepada Tuhan agar selalu mendapat perlindungan olehNya
dari masalah-masalah hati.
0 komentar: