Asal Usul Dusun Gandok, Kalikajar, Wonosobo, Jawa Tengah
Asal Usul Dusun Gandok
Kelurahan Kalikajar, Kecamatan Kalikajar
Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah
Oleh: Nur Afni Retno Kurniasih (retnoafnii@gmail.com)
Pagi ini matahari baru saja menggeliat dari tidunya. Aku membuka jendela kamar lebar-lebar. Hari ini akan cerah, pikirku sambil menghirup segarnya udara pagi. Hembusan angin musim kemarau membawa suara takmir masjid merambat melalui udara dan bunyinya terdengar oleh seluruh kampung.
“Assalamualaikum warohmatullahi wabarakatuh, diberitahukan kepada seluruh warga Gandok, bahwa saya mendapat amanah dari bapak RW untuk berkumpul di depan gedung KUD hari ini dalam rangka gotong royong membersihkan lingkungan pada pukul 07.30 WIB. Terimakasih, wassalamualaikum warohmatullahi wabarakatuh”.
Pengumuman itu lalu di baca ulang. Cukup jelas bagiku untuk mendengarnya. Pengumuman itu untukku. Ya, aku warga dusun Gandok. Ada yang pernah mendengar nama dusun Gandok? Nama yang cukup unik ini mungkin ada di beberapa daerah di Jawa. Aku pernah menemukan nama dusun Gandok di kabupaten Bantul dan Sleman, propinsi DI Yogyakarta. Namun, dusun Gandok tempat saya tinggal berada di kelurahan Kalikajar, kecamatan Kalikajar, kabupaten Wonosobo, propinsi Jawa Tengah. Dusun Gandok berada disisi jalan raya utama Wonosobo-Purworejo km.10. Dusun ini juga dekat dengan pusat pemerintahan kecamatan Kalikajar, yaitu kantor kecamatan Kalikajar, kantor kelurahan Kalikajar, polsek Kalikajar, dan kantor POS Kalikajar. Selain itu, di dusun ini juga terdapat KUA, SMP Negeri 1 kalikajar, dan SMK.
Tanah di sini subur, airnya bersih, banyak warga yang memiliki kolam ikan karena adanya sumber air bersih dari mata air dari gunung Sumbing. Lingkungan ASRI (Aman Sehat Rapi Indah) khas Wonosobo. Selain itu, warganya juga guyub rukun dan adem ayem. Alhamdulillah, aku bersyukur menjadi warga Gandok. Kampungnya bikin aku kepengin selalu mudik jaman masih kuliah di Yogyakarta. Sekarang, aku tinggal disini bersama orang tua, suami, dan anakku Kamila yang usianya baru tiga bulan.
“Ibu nderek gotong royong (Ibu ikut gotong royong)?”. Tanyaku sambil mengganti popok Kamila.
“Ora, ibu arep pengajian karo kumpulan, mengko ibu urun medangan wae (tidak, ibu mau pengajian dan rapat, nanti ibu ikut andil dengan memberi kudapan saja)”. Kata ibuku dari dapur. Beliau belum selesai memasak makanan untuk sarapan pagi. Bagi warga Gandok, sudah menjadi kebiasaan warga untuk ikut berpartisipasi dalam berbagai kegiatan yang diadakan. Walaupun tidak bisa memberi tenaga dan meteri, dukungan semangat dan doa pun tetap diberikan.
Aku berjalan kedepan rumah sambil menggendong Kamila. Terlihat beberapa warga mulai berdatangan dan berkumpul di depan KUD. Aku tidak ikut gotong royong karena tidak bisa meninggalkan Kamila sendirian. Sekitar pukul 08.00 WIB, sebagian besar warga sudah berkumpul. Warga dusun Gandok terdiri dari 110 kepala keluarga yang terbagi menjadi tiga RT dan satu RW. Warga Gandok berasal dari penduduk asli namun sebagian besar merupakan warga pendatang. Pekerjaan mereka beragam, ada yang menjadi petani, pedagang, bidan, sopir, dan PNS. Acara gotong royong hari Minggu pagi ini juga menjadi ajang silaturahmi bagi warga yang setiap harinya sibuk bekerja.
Aku mendekati kerumunan ibu-ibu yang sedang bercanda. Mereka senang karena aku membawa Kamila, yang kata mereka sangat menggemaskan. Beberapa ibu-ibu bahkan bersuara dan bermuka lucu untuk membuat Kamila tertawa. Tak lama kemudian, pembagian kerja dimulai. Semua warga bekerja sesuai bagiannya. Ternyata gotong royong dilaksanakan untuk membuat kolam ikan, taman, kebun hidroponik, perpustakaan dan taman bermain. Dusun kami akan membuat 10 program pokok PKK. Aku mengamati setiap orang yang bekerja sambil sesekali bercanda dan tertawa rukun. Tak salah Singoduriyo dan Kromotirto memberi nama dusun ini “Gandok”.
“Lho? siapa Singoduriyo dan Kromotirto?”. Mungkin begitu pertanyaan Kamila kalau dia bisa mendengar isi pikiranku. Kamila masih anteng melihat lingkungan sekitar dalam dekapanku. Matanya yang bersih bersinar cantik. Sesekali dia menguap tanda mengantuk.
“Kamila, sayang...lihat nak? Orang-orang rukun gotong royong”. Aku menjelaskan kepada Kamila. Meskipun masih berusia tiga bulan, aku memang membiasakan diri untuk menceritakan apapun kepadanya. Bayi itu jenius, tidak ada kata terlalu dini untuk mengajak ngobrol bayi. Bahkan dari dalam kandungan pun Kamila sudah terbiasa kuajak bercerita. Aku mencium Kamila di keningnya.
“Sayang, mau ibu ceritakan kisah sebelum tidur?”. Tanyaku sambil berjalan menjauhi lokasi gotong royong.
“mau yaa ibuu, mau dong ibuu...okee”. Aku bertanya sendiri dan menjawab sendiri pula. Seperti itu cara berkomunikasiku dengan bayi.
“Jadi Kamila... pada jaman dahulu kala, ada orang yang bernama Kyai Kajar. Kyai kajar itu adalah orang yang pandai beragama. Banyak orang dari berbagai daerah di Indonesia yang berguru dengan kyai kajar”. Aku mengawali kisah dengan nada yang meliuk-liuk bak pendongeng anak profesional.
“Orang-orang yang berguru dengan Kyai Kajar tersebut lalu membuat rumah di situ, tinggal disitu bersama masyarakat asli daerah itu. Kemudian setelah Kyai Kajar meninggal jenazahnya dimakamkan di dekat kali atau sungai, tidak dimakamkan di tempat pemakaman umum”.
Kamila menatapku dan berucap “oaa...aaa...aaaoo”. Gemas! seakan-akan dia paham apa yang aku ceritakan. Aku pun bersemangat melanjutkan ceritaku dengan ingatan yang seadanya.
“Lalu... ada salah satu murid yang berguru ke Kyai Kajar... namanya Wongsodipo. Berhubung orang-orang yang tinggal di wilayah itu sudah banyak, Wongsodipo dan warga selanjutnya mengadakan musyawarah untuk memberikan nama wilayah yang telah mereka tempati. Wongsodipo mengusulkan nama Kalikajar, untuk mengenang jasa-jasa Kyai Kajar yang disemayamkan di pinggir kali. Semuanya pun setuju, Kamila...”.
Sesekali kulihat kamila mulai menguap lagi. Matanya menatap bingung. Mungkin dia berpikir, “dari mana ibunya tahu kisah itu?”. Hahaha.
Pak Kasyoto, suami simbok yang merawatku sejak aku bayi, adalah penduduk asli Kalikajar. Sejak kecil aku sering bermain di rumah simbok, sehingga terkadang Pak Kasyoto menceritakan hal-hal yang menarik agar aku betah disana. Hal yang paling aku ingat adalah kisah ini, kisah tentang asal-usul dusunku, yaitu dusun Gandok.
“lanjut yaa, sayang...sambil ngantuk boleh deeh nak...hihihi”. Aku cium gemas kedua pipinya.
“Di sebelah timur Kalikajar sayang, dulu ada sawah yang saaangat luas, nah... disitu hanya ditempati oleh dua rumah penduduk. Disana juga sudah pernah ada lho lapangan khusus untuk latihan perang tentara Belanda dan Jawa, setelah Belanda dikalahkan Jepang, lapangan tersebut pun masih digunakan. Hmm... jadii... kira-kira wilayah itu sudah ada sebelum Indonesia merdeka yaa, Kamila...” . Pikirku sejenak.
“Dari dua rumah tersebut, setiap rumah memiliki anak laki-laki yang diberi nama Singoduriyo dan Kromotirto. Lalu setelah keduanya besar, dua orang itu menjadi teman yang akrab. Kata orang jawa, ke akraban mereka seperti sega karo ndok (nasi dan telur)”.
Adakah yang bingung dengan istilah sega karo ndok?
Awalnya akupun begitu. Seingatku pak Kasyoto pernah menjelaskan bahwa tradisi masyarakat Kalikajar pada jaman dahulu jika mengadakan syukuran, pernikahan atau acara-acara tertentu menggunakan takir atau jaman sekarang nasi kardus. Isian yang menjadi teman nasi jaman dahulu tidak seperti sekarang yang berisi berbagai macam menu lauk pauk dan sayuran. Jaman dahulu, nasi dengan telur saja sudah sangat istimewa. Satu butir telur pada masa itu jika ingin dinikmati bersama seluruh keluarga, harus diiris-iris tipis agar dapat dibagi rata. Misalkan ada delapan anggota keluarga, berarti satu butir telur itu harus dibagi menjadi delapan bagian. Jika memiliki satu telur mentah dan ingin dinikmati seluruh keluarga, telur tersebut dicampur dengan parutan kelapa agar porsinya menjadi banyak dan cukup untuk menjadi lauk. Kalau jaman Kamila sekarang, bikin telur ceplok mata sapi bisa minta dua telur sekaligus! Hehehe. Karena itulah, perpaduan nasi dengan telur merupakan perpaduan yang sangat cocok. Jaman sekarang saja nasi putih hangat dan telur ceplok kecap masih juaraa rasanya.
Ohiya, mau lanjut cerita ke Kamila. Agaknya sudah mulai berat kelopak mata Kamila.
“Seiring berjalannya waktu, Singoduriyo dan Kromotirto hidup dengan rukun. Semakin lama, semakin banyak orang yang membuat rumah di daerah persawahan yang luas tersebut. Kalikajar menjadi luas sekali wilayahnya, sehingga Singoduriyo dan Kromotirto yang menjadi penghuni pertama wilayah timur Kalikajar memutuskan untuk memisahkan diri dari Kalikajar dan membangun dusun baru. Dari hasil musyawarah, wilayah tersebut diberi nama GANDOK, untuk mengabadikan pertemanan Singoduriyo dan Kromotirto yang seperti seGA karo NDOK”. Begitu ceritanya Kamila...”.
Eeh, Kamilanya sudah tertidur lelap.
Aku berjalan pulang sambil melihat orang yang sedang gotong royong. Ada yang sedang berteduh beristirahat sambil minum teh panas dan kudapan. Terlihat lelah namun tetap asyik mengobrol dan bercanda dengan tetangga. Mungkin kerukunan yang sekarang kulihat merupakan terkabulnya doa dari sebuah nama. Karena nama adalah doa, tidak hanya untuk manusia bahkan untuk nama dusun sekalipun.
“Semoga ketika Kamila tumbuh dewasa nanti, warga dusun Gandok tetap rukun seperti sekarang ini yaa Allah... aamiin”. Doaku dalam hati sambil mengecup kening Kamila.
*Sumber: Wawancara dengan Bapak Kasyoto (Sarmin), Oktober 2019. Sebagai saksi hidup berdirinya dusun Gandok.